Moh. Irmawan Jauhari
Pada tanggal 10 bulan Juni 2020 ini, salah satu desa di Kecamatan Tanjunganom Kabupaten Nganjuk diresmikan sebagai kampung Tangguh Semeru (Sehat Aman Tertib Rukun) sebagai bentuk penanggulangan sekaligus pemutusan rantai penularan covid19. Peresmian ini di satu sisi merupakan langkah taktis strategis berbasis kultural mengingat dampak covid19 memang tidak sekedar berada dalam wilayah medis. Karena nyatanya dalam masa pandemi di bulan puasa, warga kawasan Tanjunganom Nganjuk sempat dihebohkan dengan beberapa kasus pencurian sebagai bentuk kemandegan ekonomi yang merupakan dampak tidak langsung covid19.
Tujuan dari kampung tangguh setidaknya ada empat berdasarkan singkatan Semeru, pertama berbicara tentang Sehat yang artinya masyarakat memiliki kesadaran yang baik akan pentingnya menjaga pola hidup dan pergaulan yang sehat. “Disiplin diri dalam kesehatan sebenarnya adalah vaksin itu sendiri”, dan saya sepakat dengan pernyataan tersebut dimana pernah saya baca pada sebuah spanduk dalam perjalanan pulang dari kota apel. Masyarakat harus diciptakan, diarahkan, untuk memahami bahwa kesehatan itu penting. Tugas ini sebenarnya bukan merupakan tugas pihak medis belaka, di tingkat desa bisa disosialisasikan oleh siapapun. Akan tetapi akan lebih bijak jika tim gugus penanganan desa yang aktif bergerak dalam penyampaian pentingya menjaga kesehatan. Di masa new normal bukan berarti tim gugus penanganan covid di desa bisa santai. Geliat masyarakat yang bergerak wajib diwaspadai agar tidak mudah terjangkit covid19. Dengan demikian, tim gugus desa merupakan salah satu pihak yang paling bertanggungjawab atas sosialisasi kepada masyarakat desa.
Kedua aman, menunjukkan bahwa dalam situasi sosial distancing perlu dipahami bahwa masyarakat desa wajib menjaga keamanan wilayah mereka sendiri. Kemandirian keamanan ini dilakukan mengingat pembatasan sosial yang ada berdampak pada penurunan ekonomi, serta berpengaruh dalam bidang lain. Kesadaran masyarakat untuk mengelola keamanan wilayahnya secara swadaya perlu didorong dan diapresiasi. Tidak sekedar didorong tanpa ada apresiasi mengingat siapapun pasti akan lelah apabila bekerja tanpa mendapatkan apresiasi dalam bentuk apapun. Pemerintah sendiri dalam rangka mendukung keamanan juga memberikan berbagai bantuan. Dan dengan bantuan sosial (bansos) yang jenisnya beragam seperti bansos khusus, bansos PKH, kartu Prakerja, kartu Sembako, PIP, Subsidi Listrik, Program tunai padat karya, dan ada alokasi dana desa untuk pananganan covid19, diharapkan kondusifitas di tingkatan paling bawah dapat terwujud. Harapan kita memang bantuan itu benar-benar terserap oleh mereka yang membutuhkan, bukan diputar pada beberapa kelompok yang hanya itu-itu saja.
Ketiga tertib, adalah sebuah kondisi impian kita semua dimana masyarakat meskipun terkena pandemi, tetap memiliki ketaatan kepada pemerintah, percaya kepada pemerintah, dan dalam prakteknya memiliki sikap tertib dalam apapun. Tidak ada warga masyarakat yang melakukan aktifitas di luar berlebihan, menerapkan standar protokol kesehatan yang telah ditetapkan, dan bersama-sama menjaga wilayah masing-masing tanpa harus menunggu instruksi. Situasi yang tertib ini merupakan andaian besar dalam masa pandemi sekaligus masa new normal.
Keempat rukun. Berbicara kerukunan adalah konsep ideal dimana dalam kondisi seperti ini masyarakat diharapkan tidak mudah percaya akan isu-isu yang provokatif, menyebarkan hoax covid19, dan berbagai anomali sosial lainnya. Tentunya dengan kerukunan diharapkan masyarakat bahu membahu diantara mereka sendiri, bersinergi dengan pemerintah desa, serta instansi lain yang berwenang dalam rangka menghadapi pandemi dan new normal. Dengan kerukunan pula tercipta keselarasan dan kesatuan gerak antara pusat dan daerah bahkan sampai desa dalam menangani covid19.
Problem yang ada di desa yang diresmikan sebagai kampung tangguh di Kecamatan Tanjunganom Kabupaten Nganjuk kemarin adalah, salah satu warganya di dusun paling selatan, beberapa hari setelah peresmian kampung tangguh ternyata dikonfirmasi positif covid. Pasien tersebut dan beberapa anggota keluarga memang langsung dibawa ke sebuah RS untuk dilakukan perawatan dan isolasi dengan ketat. Tangguh semeru ternyata belum begitu mengakar kuat dengan berbagai indikator yang ada.
Petugas gugus desa yang paling berwenang memberikan langkah taktis tidak turun terlibat dalam upayanya memberikan keterangan, informasi, maupun menenangkan masyarakat kawasan yang ada pasien positif covid. Pemerintah desa tidak sinergi dengan tokoh masyarakat maupun tokoh agama untuk memberikan pernyataan-pernyataan yang menenangkan masyarakat. Pada akhirnya muncul inisiatif dari warga (RT) yang menyatakan bahwa kawasan tersebut di-lockdown demi mencegah penyebaran. Dan lucunya, kebijakan kepala desa menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat untuk mengelola sendiri kebutuhan mereka.
Ketidakharmonisan ini kemudian berlanjut dalam indikator lain. Masyarakat kawasan yang melakukan lock down kurang disiplin, dimana lock down berarti bahwa kawasan tersebut terisolasi. Mereka tidak diperkenankan keluar, dan orang lain juga tidak boleh masuk. Nyatanya kehidupan tetap berjalan seperti biasa tanpa ada masalah. Dan jawaban mengenai permasalahan ekonomi keluarga yang muncul sebagai legitimasi apabila mereka tidak bekerja di luar. Maka nalar kita kemudian bertanya, apakah mereka tidak mendapat bantuan mengingat banyak bansos diberikan, atau bantuan yang ada tidak tepat sasaran?
Masyarakat yang terkena lock down melakukan segalanya secara mandiri dan ini bagus sebenarnya. Akan tetapi bukankah sebagai kampung tangguh mekanisme kemandirian bisa dijelaskan bahwa ada kontribusi dari pemerintah desa untuk membantu warganya? Dan kemandirian bukan berarti melepaskan masyarakat melakukan segala sesuatunya sendiri. Mereka tetap butuh support dan dukungan pemerintah desa. Mereka tetap butuh orang lain untuk melakukan beberapa tugas selama masa lock down yang direncanakan sampai 14 hari. Dan yang paling penting, mereka membutuhkan rasa nyaman dari pemerintah desa dengan bentuk kepedulian dan empati, bukan janji manis belaka semasa pilkades kemarin. Masyarakat yang berada di lokasi pasien covid di desa tersebut bergolak secara sosial, mereka merasa dikucilkan, merasa tidak diperhatikan, dan merasa ditinggalkan karena salah satu anggotanya terkena covid. Hal mana terjadi dan dapat dibuktikan dengan adanya rencana membuka kembali portal ke kawasan mereka pada hari Minggu ini, 28 Juni 2020, mengingat mereka berjuang sendirian tanpa mendapatkan perhatian dan perlindungan dari desa. Dan 28 Juni sebenarnya masih terhitung 10 hari dari pernyataan ditetapkannya salah satu anggota mereka positif covid. Sudah tepatkah label kampung tangguh di desa itu?