Webinar Tadarus Litapdimas #9 kembali digelar. Kali ini Tadarus Litapdimas Seri ke-9 mengusung tema “Kecendekiawanan dalam Jurnal Bereputasi” yang telah diselenggarakan pada Selasa, 30 Juni 2020.
Sebagai narasumber pertama, Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag (Editor In-Chief IJIMS, Rektor IAIN Salatiga) memaparkan konsep dasar kecendekiawanan. Ia mengatakan bahwa tradisi kecendekiawanan telah dimulai sejak kodifikasi al-Qur’an dan as-sunnah, dan berlanjut pada kitab-kitab turath. Di Era digital/internet saat ini terjadi demassifikasi informasi (beragam dan sangat kaya), dan ini melahirkan otoritas-otoritas baru (tantangan baru). Literasi instan sehingga kepakaran/kecendekiawanan terancam mati, karena tidak diperlukan lagi. Masyarakat sudah mendapatkan berbagai informasi dan ilmu dari internet. Kalau sudah begini, pinjam istilahnya Tom Nichols, terjadi “the death of expertise”.
Bagaimana solusinya? Akademisi perlu masuk pada jurnal bereputasi, karena fungsi jurnal itu setidaknya ada 4 hal:
- Registrasi kecendekiawanan
- Sertifikasi dan rekognisi kecendekiawanan (tidak zamannya lagi hanya diarsip)
- Deseminasi kecendekiawanan kepada khalayak, dan
- Dokumentasi kecendekiawanan
Sementara itu Dr. Phil. Khoirun Ni’am, Executive Editor JIIs) fokus pada pengelolaan jurnal. Selamat dulu ah untuk Jurnal beliau, JIIs UINSA yang bisa nangkring di urutan 1 Asia, 91 Dunia dan Q1. Yes! Beliau menekankan pentingnya spesifikasi keilmuan sebagai branding, kualitas, orisinalitas, novelty dan kontribusi agar jurnal itu bereputasi. Ukuran reputasinya apa? Ada dua kategori:
- Kuantitatif menejerial: penyuntingan naskah, reviewer internasional, manajemen pengelolaan, tampilan, dan regularitasnya.
- Kualitatif substansial: cakupan keilmuan, aspirasi wawasan (internasional atau lokal), kontribusi keilmuan, dampak ilmiah (diantaranya jumlah sitasi), gaya penulisan (termasuk cara perujukan dan sistematika pembahasan, dan kualitas bahasa.
Ada quote menarik dari beliau yang dikutip dari Seymour Martin Lipset, bahwa cendekiawan adalah, “orang-orang yang menciptakan, mendistribusikan, dan kemudian menerapkan kebudayaan” (intellectuals are those who create, distribute, and apply culture). Saat pak Niam matur, enyong agak terganggu karena harus daftar hadir, dan nembe ngeh (baru memahami– red) ketika pak moderator keren, pak Dr. Suwendi, M.Ag (Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) menyampaikannya kembali.
Pernyataan Dr. Phil. Khoirun Ni’am, diamini oleh pak Ismatu Ropi, Ph.D (Editor Studia Islamika, UIN Jakarta), dengan menekankan maksud novelty = kebaruan, tema-tema aktual menjadi ciri khas Jurnal. (catat im….ha..ha). Supaya bisa “ngugemi” (konsisten menerapkan) novelty tipsnya:
- Independensi; jaga mutu, konsisten
- Fokus dan distingsi. Contoh, Studia Islamika khusus kajian Islam di Asia Tenggara (termasuk Indonesia)
- Menejemen yang konsisten. Menurutnya Scopus hanya salah satu tujuan, ada yang lebih penting dari itu, yaitu passion keilmuan.
- SDM yang konsisten (reviewer ada 100 orang dan editor yang commited)
Narasumber keempat, Wahiburrahman, Ph.D (Chief Editor QIJIS IAIN Kudus), beliau menyampaikan pengalamannya mengelola QIJIS yang usianya sangat muda tapi sudah menduduki peringkat kedua Asia, ke-93 dunia dan tembus Q1. Menurutnya agar bisa tembus scopus, jurnal dan artikel harus memperhatikan konten, keunikan, dan novelty-nya, penilitian juga perlu empirik. Ora sak karepe dewek angger nulis dan nekad mengirimkan ke QIJIS. Dalam setahun hanya memuat 14 artikel, eh….ada 600 yang masuk, dan ada banyak yang nekad. Misalnya tema dangkal, pengaruh pembelajaran…terhadap… (ha..ha..ha…). QIJIS bisa auto reject jika:
- Tulisan berbahasa Indonesia
- Tidak mengikuti gaya selingkung dan template
- Tema/judul “biasa” dan “dangkal”
- Terjemahan Inggris “parah”
- Metadata (judul, abstrak, kata kunci dan referensi) bermasalah, dan
- Tidak ada “data penelitian”
Jadi gak usah coba-coba ndableg deh, mesakne pengelola jurnal. Mereka kan banyak yang gratisan, mengabdi tanpa pamrih. Kira-kiralah kalau mau kirim jurnal, wong artikel hanya pantes sinta 5 kok dikirim ke Q1. Kwkwkkw.
Selanjutnya pemaparan dari Prof. Drs. H. Ratno Lukito, M.A., DCL (Editorial Board Al-Jami’ah UINSUKA), beliau seperti nelongso matur: Al-Jamiah paling tua, tapi terseok-seok (baru Q2). Oh…oh…aku kan jadi ikut sedih karena aku juga pengurus Ikasuka pusat lho Prof.
Semangat Prof, bukannya sudah jadi rahasia umum bahwa mempertahankan eksistensi dan prestasi itu lebih sulit daripada berprestasi itu sendiri?
Beliau bercerita kalau sebenarnya sitasi untuk Al-Jami’ah itu cukup, hanya datanya belum sampai ke scopus, sejak 2015. Oleh karena itu yang sangat diperlukan jurnal untuk mendongkrak skor adalah: editor ahli, managing editor, layouter, dan staff kantor. Tidak lupa beliau juga menekankan perlunya artikel yang pantas untuk dibaca dan dipublish. Closing statement beliau: Jurnal adalah instrument untuk menggugah geliat kecendekiawanan dosen PTKIS. Yes, I agree.
Lanjut…semangat…
Pembahas kali ini adalah Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, M.A. (Dewan Redaksi Jurnal Perempuan, dosen UIN Jakarta). Meski beliau tidak siap memberi materi (karena dikabari mendadak) dan tanpa video (karena di perjalanan), tapi tetap professional. Mengawali pembicaraan beliau sudah menggetarkan panggung zoomer dengan mengatakan: “Mengelola jurnal itu kerja profetik, kerja-kerja kenabian yang dilakukan dalam sunyi dan senyap…”
Dan saking sunyinya kadang tidak dianggap dan kurang diperhatikan. Wow. Beliau juga mengkritik, kenapa jurnal-jurnal yang bagus itu semuanya di Jawa, dan kenapa didominasi laki-laki? Berdasarkan penelitian, dosen perempuan tidak sempat menulis karena beban budaya (repot urusan domestik) dan tidak memiliki ambisi. Padahal fungsi jurnal luar biasa (seperti yang ada di awal tulisan ini).
Lebih jauh beliau menjelaskan kecendekiawanan ini lambat karena tingkat literasi masyarakat Indonesia sangat rendah, yaitu peringkat 60 dari 61 negara yang disurvey. Dilihat dari urutan kemampuan dari yang terendah (menghafal, memahami, evaluasi, analisis, sintesa/komparasi, menciptakan kreasi dan inovatif), literasi agama hanya pada kemampuan menghafal. Hafalan boleh dan bagus, tapi harus ditingkatkan pada kemampuan yang lain. Maksud “iqra`” bukan sekedar membaca, tapi memahami dan mengevaluasi. Maka untuk sampai pada kemampuan kreatif dan inovatif perlu kemerdekaan berpikir. Kemarin ketika ada disertasi yang membahas milk al-yamin, bukannya dibela malah dibully. Kemerdekaan berpikir ini tidak dibangun, apalagi dibela.
Agar cendekiawan Indonesia mumpuni dan punya daya saing, perlu ditunjang/support dengan hal-hal berikut ini:
- Jelaskan ajaran Islam, maksimalkan kemampuan berpikir
- Pemerintah (Kemenag) memberi support konkrit, dana, dan award untuk tumbuhnya situasi keilmuan yang kondusif
- Kemampuan berbahasa; tumbuh kembangkan laboratorium bahasa
- Tumbuhkan lembaga pendidikan yang kondusif
- Tumbuhkan sikap penghormatan kepada ilmuawan dan cendekiawan. Selama ini penghormatan diberikan kepada mereka karena pangkat dan jabatan (terutama jabatan politik)
- Tumbuhkan penelitian yang massif; tidak hanya untuk kenaikan pangkat
- Tumbuhkan networking dan kolaborasi internasional
Khusus masalah penelitian, beliau mengusulkan penelitian dengan tema pluralisme perlu dipertajam. Pluralisme adat istiadat, gender-transgender, orientasi seksual, agama dan kepercayaan. Agama dan kepercayaan jangan hanya terpaku pada 6 agama yang diakui negara, karena setidaknya di Indonesia ada 20 agama dan 400 kepercayaan. Bagaimana Islam mempunyai korelasi dengan kepercayaan-kepercayaan itu. Tema menarik lainnya adalah peta keislaman dalam konteks keindonesiaan, dan tema abilitas-disabilitas. Bagaimana penyandang disabilitas itu melaksanakan sholat? Ini penting dilakukan karena ada 10% penduduk Indonesia peyandang disabilitas.
Yes, yes, yes, saya jadi malu, dosen tapi malas nulis apalagi meneliti. Semoga bermanfaat. (# iim_azizah. Pengurus FKDP)
Berita terkait catatan ini, silahkan lihat juga:
Bersiap menuju Era Kecendekiawanan Jurnal Bereputasi
Kecendekiawanan dalam Publikasi Jurnal Internasional Bereputasi